EKUITAS BUDAYA DALAM PARIWISATA BUDAYA
Proses pariwisata di Bali dan di
Jogja sudah berjalan lama......thn , hal ini menunjukkan skala globalitas
pariwisata di situ, disitu masysrakat bertahan dan terus berkembang dalam
menghadapi ‘tekanan’ globalisasi , di
situ masyarakat mengambil peluang menghadapi perkembangan pariwisata
internasional, lokal, yang dikembangkannya/ digelutinya, hal mana sudah
bisa menghadirkan materi untuk pembahasan
pariwisata budaya dlam lokalitas Bali
dan Jogja.
Pembahasan : Priwisata budaya
sebagai proses : konsep dan terapan (grounded) mempunyai daya tarik
tersendiri, dan proses
budaya tsb ternyata berkembang dalam era global sekarang ini. Semakin
jelas, dapat dilakukannya pembahasan
dari sudut pandang budaya, secara kognitif, secara struktural (pemaknaan
simbol) yaitu integrasi aspek kognitif orang-lokal dan wisatawan- komunikasi
kognitif lokal dengan wisatawan
mengggunakan media pariwisata, oleh
karena ‘pariwisata’ itulah maka diperlukn adanya
produk pariwisata, produk yang dipilih/dibicarakan dalam tulisan iini adalah berupa teks/narasi/visualitas lokal (buatan/built)
, narasi tsb seringkali dijumpai pada even
drama,cerita,penjelasan oleh guid, leaflet,foto/film,rekaman, brosur, dll yang
dikonsumsi wisatawan disediakan oleh pariiwisata .Dalam bidang drama tari
(misalnya: ramayana, barong untuk wisatawan)– berfungsi
sebagai media ,sekaligus menunjukkan
adanya teks,narasi,visualitas ttsb menjadi berjalan
selaras dengan ekuitas budaya,selaras dengan ekuitas merek (orientasi pfoduk)
Kasus yang dipilih/ diamati di sini yaitu hubungan dinamika ekuitas merek produk
(orientasi pariwisata) yang ternyata (melalui proses pariwisata/media) mengintervensi secara
struktural, aspek budaya yang perlahan-lahan berjalan menurut waktu ke
depan , mengalami perubahan ( adanya nilai- nilai yang absen dan ada yang disubstitusi)
,akibat perubahan yang dibawa oleh pariwisata. Dalam bidang drama tari (misalnya:
ramayana, barong untuk wisatawan) Ada budaya ‘pakem’ (sentris lokal, dimana
terdapat obyek fisik, sosial dan dogma dalam interaksi simbolik dalam pandangan
lokal– lihat Made P Kutanegara 154 ) dan budaya ‘performence’ (sentris pariwisata, ada peran wisatawan,
peran lokal, biasanya menghasilkan apa yang disebut : obyek wisata/
produk wisata/agensi pariwisata).
Dalam
pariwisata budaya, dalam tulisan ini adalah ‘budaya turunan’ / turistik dan
‘pelakunya’ dapat diperlakukan sebagai ‘obyek bagi pariwisata’ , dimana
kata ‘budaya’ yang dimaksud berarti kognitif (alam pikiran), budaya dalam aspek kognitif itu
diambil
sebagai obyek kajian pariwisata,dalam
hal ini adalah tataran teks naratif yaitu yang dimunculkan oleh : teks,visualitas,
kondisional, ‘life’ (mengisi aspek keruangan yang dijangkau/dibingkai oleh pasar global/pariwisata.media)
yang dikonsumsi wisatawan.Teks
naratif dalam
‘obyek pariwisata budaya’ tsb dengan demikian bisa disikapi/ dianggap sebagai ‘produk’
(supply-demand) ekonomis. Ada arus Supply-demand
(by order) yang berlangsung dalam suatu lokasi destinasi
khususnya lokasi borderzone (ruang
interaksi lokal - wisatawan), adalah
yang diamati dimana ada pemusatan,meliputi semua sumber
daya setempat (destinasi) untuk ditampilkan dalam panggung pertunjukan pariwisata/performence touristic, yang difokuskan menjadi in put sampai dengan out put yang dikembangkan/dilibatkan yang memungkinkan
pariwisata budaya setempat aktual
berkembang (dimana sudut
pandang pariwisata di satu pihak mempengaruhi /mengintervensi obyeknya/ obyek
wisata yaitu : ruang,waktu tempat disertai isian benda,misalnya candi,pasar
tradisional, sawah dll )
,karena integrasi/pemusatan tsb disertai sudut refelksi pariiasata ,menghasilkan
produk
pariwisata intangibel , (intangibel product) out put yang menunjukkan berlakunya proses transformasi
struktural melalui cara pandang turistik dialami oleh wisatawan diraspons
oleh lokal. Produk tsb
dikonsumsi dengan cara dikunjungi. Di situ Pariwisata (globalisasi) sebagai proses yang
mampu mengubah, terlibat dalam proses
transformasi sehingga prwst berubah menjadi ‘alat produksi’yang memanfaatkan khususnya ‘budaya’/ aspek struktural yang
dikelola yang dihidupi masyarakat. Ada
dampak pariwisata yang signifikan
dalam perbedaannya ,dari a). sudut pandang pariwisata budaya bahwa pariwisata
dipandang dari aspek struktural, relativitas budaya, ekuitas budaya,
globalisasi/media , sejarah lokal ,universalisme adalah fokus budaya
yang dikaitkan dengan merek (orientasi produk), sebgaimana berlakunya sebuah merek melekat untuk suatu produk konvensional dan b).
Pariwisata dilihat dari sudut
pandang service/kompetemnsi profesi yang beragam
(misalnya service di hotel/ orientasi kepuasan wisatawan ).
Di
sini pariwisata budaya dipakai/
dipandang sebagai ‘alat produksi’ yang mengatur/ mengadakan/ mempengaruhi supplier/demand
(order) produk bersatuan lokasi. Lokasi dianggap sebagai produk bermerek (misalnya produk lokasi Bali dan lokasi
Jogja adalah destinasi pariwisata budaya yang sudah punya merek, ada ekuitasnya,
ada produknya dan ada hegemoninya). Merek dan hegemoninya adalah universalitas , dimana Lokasi
dan budaya bisa dianggap sebagai kesatuan ‘dwi tunggal’ , bisa juga relasi lokasi dengan
alam juga bisa disebut ‘dwi tunggal’ .Karena
pariwisata pada dasarnya memerlukan dalam lokasi nya, budaya atau alam, atau ke
dua-duanya. (lihat Anton). Ada kesatuan makna antara lokasi dan budaya di
dalamnya.
Tulisan
ini mencoba memaknai/rasionalisasi budaya/semangat lokal ( cara
bepikir,tindakan dan hasil tindakan – adalah budaya dalam arti bahwa a).budya tidak lepas dari sejarah,misalnya: obyek
wisata C.Borobudur atau pura Besakih,
masing-masing dihidupi dan menjadi bagian dari keseharian (cerita/ sejarah) oleh masyarakatnya
dan bahwa b).budaya
(ruang buatan ,aktivitas
fisik/visualitas, kognitif dan nilai) tsb
mengakomodasi fokus baru yaitu hadirnya wisatawan/perilaku wisata di situ,
sehingga presentasi budaya tsb benar-benar menambah daya tarik lokasi
/destinasi dalam lokasinya . Budaya tsb
mendapat intervensi/ oleh pariwisata/ sehingga
bdy beradaptasi terhadap tuntutan adanya merek (melalui proses pariwisata yang mengapresiasi sudut budaya, struktural),
dalam satuan ekuitas, sehingga muncul istilah ekuitas budaya (dimana dalam hal ini manajemen pariwisata mengatur/mempengaruhi
budaya dalam arti proses : konsep/kognitif dan terapan yang dikelola sebagai materi potensial yang dinilai secara ekonomis). Irwan 19, menjelaskan bahwa
hal ini sebagai dampak dilibatkannya agen/manajemen yng berbeda :’nilai tidak lagi
dikonstruksikan dengan harmoni tapi dikonstruksikan dengan serangkaian
negosiasi yang melibatkan agen yang berbeda’
Globalisasi
berujung pariwisata, adalah
keterbukaan/perubahan yang memungkinkan
budaya , diperlakukan/dipandang sebagai
materi untuk membuat out put yaitu produk (aspek fungsionalisasi materi
kultural-spiritual yang justru terjadi dalam sudut pandang lokal) yang dipengaruhi /dikemas
oleh kehendak/pertumbuhan pariwisata didukung/ diarahkan oleh opini wisatawan
dan opini masyarakat lokal destinasi sendiri. Budaya diukur sebagai produk.(berdurasi saat ditonton dan
diberlakukan harga) yang bermerek yang kemudian berekuitas yang menghegemoni dalam
globalisasi (apabila kompetitif),dalm persaingan global.karena adanya
‘kendaraan’ yg disebut merek..
Budaya yang dikaji dalam hal ini adalah budaya yang muncul dalam bentuk teks naratif, verbal,visualitas,
kondisional, ‘life’ dipandang sebagai
‘produk’ (disediakan oleh lokal dan dikonsumsi
wisatawan), budaya diberi satuan ekuitas, dimana merek masuk
menjadi, bagian dari narasi yang
dipengaruhinya sehingga
produk narasi mengalami peningkatan penjualan - dikonsumsi, hal ini merupakan fakta pergeseran sudut pandang, perlakuan yang
berbeda ,berlaku terhadap materi budaya ,dampak pariwisata.Dan bahwa budaya
pariwisata berdampak pada perilaku melalui globalitas.oleh karenanya perilaku perlu selalu diamati.
EKUITAS
BUDAYA
Istilah ekuitas budaya berasal dari
ekuitas merek yang mengintervensi budaya dari sudut konten budaya yaitu pada atribut budaya tertentu
yang meliputi aspek budaya aktual/existing (yang ada) sebagai potensi lokal tidak lepas dari aspek pergerakan sejarah setempat sebagai
variabel tetap (constraint) sebagai faktor pendukung pemahaman sosial yang kuat (seharusnya sangat berpengaruh) –
misalnya : kasus lokasi Jogja (sejarah Jogja). Dalam masyarakat Jogja ataupun
Bali, di situ ada pandangan /tuntutan
akan sensitifitas/rasionalitas
‘baru’ yaitu rasionalitas /sensitifitas terhadap pariwisata dalam tataran tertentu ,rasionalitas tsb berhasil
mengintervensi konten tsb/attribut budaya .
Di sini pilihan pengamatan yang diambil adalah pada atribut budaya (teks naratif dan visualitas,
kondiional. ‘life’)
tertentu/terbatas yang justru dihidupkan dan disadari, didayagunakan – oleh pelaku budaya, budayanya
dalam arti turistik diberi/ mendapatkan merek- menjadi salah satu alat/instrumen pariwisata (merespons ordr)– misalnya show: barong, kecak,ramayana-,desa
wisata, diberikan teks/ narasi oleh pihak lokal/pariwisata , mungkin juga
diberikan teks yang dibuat oleh pihak asing/ pariwisata misalnya: Guide Book mengenai show tsb.Show tsb ditampilkan dengan penuh rasa percaya diri ‘trust’/konsistensi masyarakat lokal/pelaku/penari terhadap budaya /pertunjukan nya, tumbuh
menjadi alat/ insrumen produksi, yang ‘sah’ secara kultural, diterima
oleh pelaku budaya lokal, menimbulkan bagi penulis kesadaran adanya pemilahan jenis kesenian,sehingga berwujud tampilan/performence budaya turistik/budaya
turunan yang tumbuh dari budaya induk .
PRODUK
BUDAYA
Produk budaya, dari sudut pandang turistik, produk budaya disebut demikian adalah budaya yang
diperlakukan sebagai –out put / produk ekonomis,
produk tsb secara prinsip berupa
perilaku budaya spesifik lokal disampaikan/disajuikan untuk wisatawan
(misalnya: dalam bentuk pertunjukan berbasis materi budaya lokal kultural ) - hal
itu diperlukan dan ternyata mampu memperkuat/meningkatkan ekuitas merek yang
tumbuh dari popularitas lokasi , antara
popularitas produk dan merek produk terjadi proses saling menarik (misalnya lokasi Bali,
popularitasnya dan mereknya),
sehingga produk perilaku lokal /budaya turunan tsb (khususnya), lama kelamaan
menjadi berbeda,menjadi turistik (adaptasi fungsional), berkembang/berfungsi untuk
mengundang bahkan menjanjikan kepuasan wisata, bisa ditawarkan/dikomodifikasikan
secara ‘spesifik’/ turistik,bahkan menembus
pasar pariwisata. Budaya turunan tsb akhirnya diterima oleh lokal menjadi
budaya milik sendiri (budaya campuran)
Wisatawan
mengunjungi, berarti ‘mengkonsumsi’ lokasi dan budaya di dalamnya dalam arti mengkonsumsi inntangibilitas produk/image lokasional/simbolik. Cara/modus wisatawan (perilaku wisata/ pandagan wisatawan ) tsb mengkondisikan/mempengaruhi
dan kemudian mengubah/ menyensor obyek-obyeknya , terjadi seperti mekanisme kerja sebuah kamera
(memilah, menampilkan gambar ,dan memperlihatkan peranan selera/kepribadian fotografer- yang ditampakkan oleh gambar).
Sebagai fokus dalam tulisan ini, adalah wacana - narasi yang semula kultural (‘original’) sebuah budaya yang di ‘performence’ (dalam batas itu) dari
perspektif pelaku/perilakunya sendiri , semula berbasis
pakem, kemudian/disensor sehingga berubah jenisnya , menjadi performence
turistik,menjadi wacana - narasi turistik/ekonomis : teks turistik, visualitas
turistik ,kondisional ‘life’, sebagai teks, visualitas (produk/produser
: lokal) dimana pendengarnya/penontonnya
,konsumernya: wisatawan. Wisatawan mengkonsumsi produk dari segi image populairitasnya , simboliknya .Sebagai produk
lokasional intangibel yaitu narasi turistik,melekat dari hbungan lokasi dan
budayanya, aspek nama lokasi (penamaan/bunyi) bagi pariwisata mempunyai nilai/ ekuitas, penamaan
menjadi merek (menghantarkan ‘mimpi’
wisatawan memancing kepuasan wisata) karena popularitas nama itu , dapat terbukti
derasnya konsumsi (lihat data
perkembangan pariwisata di Bali dan di Jogja) dan ada pemaahaman saling mempengaruhi/menyesuaikan, antara lokal dan wisatawan mendukung penguatan pada merek (ke dua belah pihak saling membutuhkan
dengn kepentingan masing-masing).
Narasi turistik tsb (produk) menjadi paritas
absolut bagi merek yang ditumbuhkannya, berlaku bagi lokasi dan budaya
di dalamnya , yang perlu dipahami (different culture/budaya beda/budaya
lain yang diterima/diadaptasi oleh pelaku) oleh pihak lokal.
Paritas narasi tsb terdapat pada
tataran kognitif / pemahaman bagi
wisatawan, yang harus disediakan untuk memenuhi ruang kognitif/pemahaman (mind)
wisatawan , menjadi produk yang mutlak
diperlukan ketersediaannya, dan disajikan
sehingga dikonsumsi pada tataran kognitif , konsumsi tsb (act of consumption) diaksentuasikan
sepenuhnya di tangan
wisatawan/konsumen. Berbeda dari budaya induk, untuk wisatawan produk tsb berupa
budaya derivasi/turunan , sebagai ‘menu konsumtif’ ,menjadi suatu narasi
budaya yang ‘berbau’ berorientasi ekonomis, menjadi ‘keniscayaan’ , karena
adanya kesengajaan dibuka , ditata, ditampilkannya lokasi dan budaya nya untuk
durasi kunjungan dan diberlakukannya harga
–durasi kunjungan dan harga/ sebagai entree, peluang, tantangan bagi pertumbuhan
budaya dalam pergerakan ekonomi budaya/globalitas
– hal mana berlaku absolut dalam
pariwisata budaya / industri budaya – ,budaya
turunan , adalah fakta budaya
sekaligus adalah choice/pilihan,yaitu derivasi, performence
adalah produk ekonomis kultural kolaboratif global-lokal .
WISATAWAN
Wisatawan dari berbagai kategori
personal dan karakter tour yang dipilihnya selalu terikat dengan kebutuhan narasi/ struktural (hal itu sangat diinginkannya misalnya selama
tour): teks/verbal dan visualitas/kondisional ‘life’ yang ditunjuk/ditampilkan (adalah suatu kesatuan teks, brsifat struktural
– dlam tour hal ini mutlak harus dilakukan oleh guide/bercerita) , hal ini perlu dibuat/ ditunjuk/direalisir teksnya/ dikuatkan maknanya – misalnya
ringkasan cerita ramayana ,cerita sejarah desa, cerita mitologi, cerita rakyat,disajikan
untuk wisatawan, juga visualitasnya-
misalnya terdapat dalam foto berbagai obyek untuk leaflet promosi dll kepada wisatawan (rekayasa
teks, rekayasa visual) untuk kognitif, kemudian hal itu supaya wisatawan disamping
membaca (verbal) dan melihat (visual), yang ke duanya ,sajian
tsb membantu
wisatawan dalam pamahaman masysrakat saat
berinteraksi/membaur (dalam batas
tertentu) dengan masyarakat setempat,
wisatawan sering kali mencoba memahami kelenturan/sensitifitas/rasionalitas lokal sosial masyarakat setempat. Lebih jauh bisa
saja bahwa wisatawan melihat
memaknai kompetensi masysrakat yang digambarkan dalam handeling
multikultur, dimana wisatawan diterima di dalam nya ibarat menjadi ‘local insider’
dalam durasi waktu terbatas (transformasi terbatas) karena berinteraksi kemudian mendapatkan ruang geraknya (interaksi
sedemikian rupa sehingga berdampak dari perilaku
wisatawan mempengaruhi dan mtransformasi menimbulkan perubahan perilaku lokal).
Wisatawan secara kognitif turistik
(secara image) selalu terkait dengan verbalitas,visualitas, kondisi yang favorabel/ ideal teks disertai
interaksi terbatas/simbolik dengan masyarakat lokal, setempat (gambaran grounding globalisasi),
karena dengan interaksi tsb wisatawan mendapatkan makna budaya dalam kunjungannya, melengkapi
narasi cerita kunjungannya,sehingga masyarakat lokal tsb mempunyai peran
penting / in charge–diperlukan (partisipasi
turistik) adalah suatu tuntutan yaitu tuntunan pariwisata merealisasi konteks
budaya (tampilan verbal,visual, dan kondisional yang ‘life’ yang ideal) berfungsi
untuk memperkaya dimensi budaya untuk pariwisata
, meningkatkan kepuasan wisata. Produk-produk tsb
perlu disadari adanya ,karena
produk tsb adalah produk abstrak :berbasis kesadaran masyarakat, produk tsb perlu ditata,
dan didistribusikan kepada wisatawan karena wisatawan secara sosial spiritual adalah berada dalam keadaan ‘liminal’/ ingin tau/ ‘stres’ dibawa dari kondisi mereka yaitu dari daerah asal
wisatawan , dengan kondisi itu , wisatawan akan mengkonsumsi hal-hal lokal yang
berkarakter kognitif/struktural/imaginer/kultural/dinamis/ yang melekat pada
perbedaan yang ditumbuhkan dari perbedaan lokasi yang menumbuhkan daya tarik terdapat pada daerah tujuan wisata (DTW) dalam
hal ini : budaya dan sejarah lokal.Diperlukan perencanaan pengembangan dan
strategi budaya yang inheren/cocok dengan
karakter pariwisata budaya (sebagai produk) setempat, mengelola dengan baik
sebuah budaya lokal dalam sudut pandang/kemasan pemahaman pariwisata yng
ternyata dinamis dan mengubah . Data
di lapangan ( selama 20 thn penulis bekerja sebagai guide) menunjukkan bahwa
wisatawan ‘ adalah orang dalam perubahan/liminal ingin melihat dirinya sendiri
melalui perspektif budaya/ struktural lokal yang dikunjunginya/dirinduknnya ,budaya tsb dipengaruhinya, budaya tampak dari
sudut struktural , dipandang dari sudut reltivitas/universalitas pariwisata adalah obyek ( gaze) bagi wisatawan, oleh karena
itu budya menjadi obyek/produk bagi ekuitas merek – ditangan wisatawan ,
diukur sebagai produk yang mengalir dalam satuan ekuitas disupply oleh lokal dan dikonsumsi oleh
wisatawan, tapi ke dua belah pihak antara lokal dan wistawan, kadang juga melakukan konsumsi obyek yang sudah berubah dan tersedia secara turistik (misalnya generasi
muda di Bali di Joga memanfaatkan fasilitas pariwisata).
MEREK KOMPETITIF
Ekuitas merek (produk sentris/ekonomis)
adalah 1). identitas merek suatu produk barang
dan jasa pada tingkat atribut yang dipertahankan ,yang ditimbulkan oleh tingkat
‘kemerataan’ atribut produk tsb dikenal,tersebar,diterima,terbeli oleh
potensial konsumen/konsumen aktual (trade performence). Ekuitas merek yang 2), berkemerataan tinggi ,diukur dari tindakan pembelian (buying/purchassing)
produk tertentu yang tinggi – adalah target terpadu bagi kegiatan-kegiatan
berorientasi ekonomis (fokus supply – demand/ order) berbasis
merek.Konsumsi suatu produk bermerek ekuivalen dengan mengkonsumsi sebuah merek
yang menimbulkan kepuasan lebih .
Ekuitas
(sauan) merek suatu produk harus 3).
terukur teridentifikasi (diperlukan evaluasi dan analisis) untuk memaksimalkan
nilai/ratio ekuitas merek,evaluasi sangat diperlukan, untuk menekan
mengeliminir peluang kegagalan produk bermerek yang sejenis (barang dan jasa sejenis) tapi bersaing dengan produk bermerek lainnya ,dalam intensivnya
kompetisi/komunikasi dalam pasar bebas
paariwisata sekarang ini khususnya.
Dalam pariwisata budaya
khususnya, dalam kasus di Bali dan di Jogja, dalam hal ini melalui proses pariwisata
yang sudah berlangsung lama– ekuitas merek ternyata dapat menerapkan dirinya pada
budaya ( sentris budaya) yang memandang bahwa - perilaku, hasil tindakan dan
cara berpikir lokal – adalah obyek (interaksi
lokalitas-globalitas adalah entitas dan kepakaran/struktural masyarakat
setempat dalam pariwisata). Karakteristik
budaya 1)learned, 2).shared, 3)transgenerasioanal, 4).symbolic, 5).patterned,
6)adaptive.dalam era globalisasi budaya
menjadi
berbeda , maka pemahaman atas dampak
budaya dalam globalisasi, kepada prilaku menjadi sesuatu
yang penting diketahui , baik yang
terjadi pada lokal maupun pada wisatawan
–
.
Aspek
interaksi lokalitas-globalitas (struktural) dalam lokasi borderzone (borderzone
of interaction) tsb lah yang bisa diperlakukan/diamati secara langsung
(obyek pembahasan dalam tulisan ini) dimana dalam lokasi/borderzone tsb terjadi
interaksi dimana wisatawan berkunjung dan berinteraksi (kunjungan dan perubahannya
ditimbulkan oleh pengaruh/ daya tarik pariwisata , hal mana dinilai dari sudut
globalisasi/global mind, perubahan tsb harus
diakomodasi sebagai bagian dari
keseluruhan potensi sumber daya
pariwisata yang perlu (bisa
diusulkan) untuk didaur ulang
untuk penghematan dan sekaligus keberlanjutan sumber/materi diperlukan pariwisata ). Hasil
interaksi lokalitas-globalitas ( grounding/ struktural) tsb dalam masysrakat diperlakukan
sebagai sumber pemahaman bagi
penulis untuk melihat produk budaya yang
dilekatkan dengan pariwisata/mendapatkan merek , mempegaruhi perilaku , sehingga di situ tampak
– identitas produk budaya dapat dinilai secara ekonomis diakomodasi oleh
jangkauan pasar global. Budaya ditransformasi menjadi ‘produk’ (realisasi
struktur) yang kompromistis dengan nilai ekonomi, dimana nilai-nilai tertentu
sebuah budaya , absen, terhadap status
eksistensialnya,dimana nilai-nilai ‘baru’/ lain kultural mengisinya/ substitusi
(perubahan) dari sumber: pariwisata.
Disitu merek adalah sesuatu yang melekat pada
barang dan jasa- kompetitif,yang
dapat dirasakan tangibilitasnya - intangibilitasnya,saat digunakan dalam ruang pariwisata dimana terjadi fungsionalisasi merek/utilitas merek,
terjadi saat konsumsi barang dan jasa
turistik atau budaya dikonsumsi, diperlakukan sebagai produk (merespons aktualisasi need dan
wants) dilakukan wisatawan. Jadi merek
adalah fakta kognitif/imaginer/tangibel menimbulkan a).motivasi
dan juga b).fakta yang menunjuk pada fungsi yang melekat (dalam siklus produk –
dalam hal ini produk budaya- terukur dalam durasi waktu ditonton,diimaginasikan
dalam durasi terbatas dan diberi harga) pada sebuah produk
barang dan jasa berbasis
budaya/lokasi, yang dinilai secara
komparatif sebagai pilihan/choice ekonomis lokasisonal ,ditangan
konsumen – halmana di situ menunjuk
peran penting sebuah merek yang dipilih (merek lokasi tertentu lebih disukai/preference)
oleh konsumen. Bisa dibuktikan
di lapangan bahwa merek tertentu yaang lebih disukai
mempengaruhi secara signifikan jumlah/kuantitas
pembelian produk wisata tertentu – dalam pariwisata satuan produk yang pokok adalah kunjungan ( trade performence)dan jumlah nilai
uang total konsumsi wisatawan
(eksperiense), pada lokasi turistik/spesifik,dimana
opini konsumen lebih dulu sudah dipengaruhi/didominasi/dibentuk oleh keberadaan (posisi rangking ekonoms sbuah
merek) merek lokasi (diambil dari nama lokasi) yang sukses.
Merek yang sukses , dapat
dilihat pada suatu produk lokasi dan
budayanya yang berhasil memecah
relatifitas (ketidak menentuan) peluang bisnis , membuka peluang,meletakkan
produk kompetitif di situ dalam peluang bisnis pariwisata yang global menghasilkan
produk yang mengglobal/popularitas. Keberhasilan
tsb didukung oleh merek yang diterima oleh masysrakat dan wisatawan. Pembinaan
merek sebuah produk yang suskses,
yang ditawarkan/dipasarkan membuat produk tsb berjalan ke arah dan selaras
dengan perilaku dominasi/hegemoni merek
terhadap merek yang lain (kompetitor) dalam ruang globalitas intensif sekarang
ini, melalui kompetisi.
Ekuitas merek yang sukses,
harus selalu diusahakan karena mempunyai
pengaruh signifikan membuka peluang ekonomi
yang penting yaitu ,untuk mengelola sensisitifitas harga, untuk menentukan
harga yang ideal ,dinamisasi harga produk, dapat diukurf baik melalui a).persepsi
maupun melalui b).preferensi perilaku konsumen yang terdata. Ukuran tsb adalah
penting dalam menyusun langkah dinamis menghadapi/mengantisipasi
pergerakan relativitas selera dan relativitas harga berlangsung dalam pasar pariwisata
yang dinamis/ global.
MEREK
Merek sendiri
secara substansial adalah k e l o d merupakan
nama,simbol,desain,atau tanda, tampilan yang bermakna (terus menerus dibina
pemaknaannya oleh pelaku/pemeluk budaya sebagai produser/supplier produk budaya,
produk yang adaptasi / memberi respons
dan menerima dampak yang ditimulkan oleh interaksi debgan pariwisata) diterima dan
tidaknya, tergantung respons konsumer (momen kesepakatan opini antara lokal dan
wisatawan, perlu diperhatikan ). Pada dasarnya
merek adalah alat/tool intangibel yang
meningkatkan nilai kognitif/intangibel dalam orbit/paritas sebuah produk atau jasa tertentu berkembang
dalam masysarakat,mempengaruhi /mendorong kesadaran masyarakat pelaku budaya memperlakukan budaya sendiri sebagai in put, proses
priwisata , out put,dimana masyarakat pelaku
budaya dan wisatawan saling menikmati hasilnya (dari masing-masing sudut
pandangnya dan kepentingannya) melalui adanya ketersedian
produk di pasaran pariwisata, dikonsumsi
wisatawan (menghasilkan keuntungan dalam
bentuk uang bagi pengusaha dan pengalaman multikultur bagi relasi lokal-global),
sehingga wisatawan puas. Produk riil atau abstrak tersedia, berada dalam kuantitas maupun kualitas beragam - mencerminkan konten kegiatan merespons dinamika,realisasi kesepakatan opini antara
lokal-wisatawan/global untuk eksperiense (diberikan dan dikonsumsi).
Dalam pariwisata (sebagai
proses), tampak bahwa attribut produk mengubah/mengambil alih attribut budaya -melalui proses kognitif/strukural- menjadi atribut
produk ekonomis - dalam arti bahwa produk budaya sebagai out put ekonomis
telah mengalami lebih dulu diintervensi, peningkatan, bahkan ditransformasi/diproses/
diubah resistensinya untuk memberi dan diterimanya eksperience
turistik (termasuk diberi harga dengan
satuan uang atau dikunjungi berdasarkan durasi waktu kunjungan-yang terukur-
terbatas/ ada keterlibatan terbatas antara lokal dan wisatawan) menjadi bagian
integral bagi
budaya setempat, aspek tindakan (action) dari budaya tsb menjadi materi kognitif, yang kemudian out
put/produk tsb dipertukarkan dalam pasar
turistik dimana identitas budaya bahkan tataran
kognitif (cara berpikir) melatar belakangi pelaku budaya dipengaruhi oleh
ekuitas budaya yang dilakukannya (sehingga ‘budaya’-‘hasil budaya’-‘perilaku budaya’ bisa
‘diperjual belikan-dipertukarkan/diperbandingkan’ dengan satuan harga/produk,
dinilai dan diperbandingkan dalam ranah
kognitif ,tidak hanya oleh pelaku budaya tetapi juga dinilai oleh pihak lain/luar
grup/ the other – wisatawan misalnya
- mengglobal) - dimana budaya/hasil budaya disamakan/dianggap sebagai produk –supply/available –disajikan
sebagai ‘menu istimewa lokasional’- dalam batas tertentu dari budaya itu–dimana konten budaya/attribut budaya tsb diintervensi/ditransformasi
(berubah),terseleksi menjadi attribut produk tertentu (yang disukai konsumen),identitasnya
dipencarkan diragamkan untuk memenuhi ketersediaan dinamisasi produk turistik.
TRANSENDENSI
Identitas
namanya/popularitas namanya,imagenya, simbol-simbolnya dipakai,bobot informasinya (verbal,visual,kondisional,
‘life’) ‘dicari’ bahkan ‘dirindukan’ karena menimbulkan
transenden-distansional, karena spesifikasinya ( spesifikasi budaya masyarakat-terdiri
dari aspek cognised-tentang dugaan-dugaannya, tentang alam/natural/lingkungan atau terhadap
budayanya-built/ hasil kerja kelompok - atau ke duanya, ditampilkan),
untuk dikonsumsi wisatawan,untuk akhirnya wisatawan mengkonsumsi produk-produk budaya :fisik dan non fisik ,berbasis merek
dan lokasi (grounded – ‘dwi tunggal’)- merek dan lokasi seisinya berkelindan (grounding globalisasi) menjadi
salah satu daya tarik (distansional,transendental,kultural, struktural) yang
memikat. Konsumsi tsb membesarkan merek
produk (lokasi) yang dikonsumsi dan sebaliknya (merupakan fakta umum proses
logika empiris sosiologis ekonomis turistik).
Produk budaya
lokasional (fisik dan non fisik) berkembang dalam pariwisata,dimana pariwisata
(sebagai pihak ke tiga) memanfaatkan kelindan
merek , lokasinya dan budayanya yang dirasa bermerek :transenden,distansional
,saat dikonsumsi,meliputi
1).nama-diri budayanya –
fokus spesifikasinya (aspek kata/bunyi
nama diri, otentik),yang ditunjuk/diucapkan oleh pelaku budaya (
dipersubyekkan) bahkan pihak lain melakukannya ,diulangi (told-retold ,rekonstruksi budaya),
dipakai untk
2).meningkatkan daya tarik lokasi (karena kuatnya daya tarik budaya di
dalamnya) sekaligus menunjuk lokasi administratif dan aspek budayanya disertai dengan 3).menunjuk identitas budaya yang ditunjuk
oleh pelaku (baik lokal maupun asing/luar) atau pelaku tsb menunjuk lokasinya – misalnya
: Bali, Jogja – sebagai kata/bunyi/imajiner/intangibel memikat,sekaligus menunjuk
lokasi geografis/administratif/ekonomis yang tetap/locus (ibarat sign board yang memikat, yang penuh
makna) dan aspek nama diri
budayanya-sejarahnya, dipakai untuk menamai lokasi geografis secara konsisten ,
dilakukan dan dikenali keterpaduannya (integrated)
secara sosial budaya yang konsisten, akhirnya menyatu menjadi lokasi tetap/locus yang bernama/mengorbit/
mengisi paritas , beridentitas yang dipertahankan , misalnya dengan revitalisasi pemaknaan (meaning)
dan powering (power) melalui berbagai upacara budaya yang rutin dilakukan oleh adat setempat
,dlm hubungan dengan kepakaran lokal dalam ‘membuat’ suatu makna/ simbolik ,hal
itu dikenal dan akhirnya bermerek (lebih dipercaya) diterima oleh masyarakat – dikonsumsi
wisatawan yang lebih luas. Adalah salah
satu gejala sosial yang terjadi diperlukan oleh masysrakat lokal dalam
menjangkau dan mengundang wisatawan – ada perilaku lokal dmpak pariwisata yang dikenal secara meluas, mengglobal. Di
sini tampak proses internalisasi budaya turunan yang berasal dari transformasi dari budaya induk. Budaya turunan
tsb menjadi obyek bagi internalisasi merek budaya yang
dirasa otentik dan aktual, proses mana berjalan melalui ‘jembatan’/fasilitator:
pariwisata dilakukan oleh lokal dikonsumsi oleh wisatawan .(Budaya/sejarah
sebagai alat/tool pariwisata, pariwisata sebagai fasilitator bagi
tujuan/target ekonomis dan sekaligus memberi
peluang budaya yang tumbuh tapi dipandang
dari sudut pandang yang berbeda ).
DREAM
LOCATION
Menempelnya nama diri budaya pada lokasi (fisik/locus),menunjuk
pada lokasi disediakan untuk wisatawan melakukan berbagai tindakan konsumsi
produk pariwisata setempat. Lokasi tsb digunakan/diperlakukan wisatawan sebagai target lokasi: dream
location,dream product, (target bagi personal eksperiense untuk
mendapatkan kepuasan/pengalaman wisata maksimal terhadap ketersediaan produk dalam lokasi-seisinya
dan budayanya-sejarahnya sebagai ciri khas lokal yang sangat dirindukannya-eksotisme
budaya lokal/imajiner adalah dream) terdapat pada suatu lokasi/lokasi
berbeda/ lokasi yang dicari/diidamkan wisatawan : lokasi seisinya (meliputi sebagai sumber daya, hubungan,
pengalaman,pengetahuan,skill/ketrampilan) yang memusat pada keberadaan
merek dalam ruang global,(Ali Hasan)
(liht diagram 1) mendukng
pertumbuhan/ekuitas merek produk lokasi meliputi barang, jasa, budaya/situasi
spesifik, teks-teks ‘diperjual-belikan’ (selling dream), branding, dengan cara ‘spesifik’,
(sehingga disebut ‘lokasi spesifik’- lokasi/tempat/addres dinilai berbeda,transformatif
, yang dijual dan dibeli,dikonsumsi dengan cara dikunjungi – berkunjung dan
berbagai hal yang diperlukan dalam kunjungan itu: tidur,
makan,minum,toilet,rest,dll, adalah alat konsumsi) terjadi dalam konteks pariwisata
.
Lokasi
seisinya yang ditawarkan ,dikonsumsi secara turistik yaitu dinilai secara
komersial (aspek ekonomi/komersialisasi kunjungan) dengan melakukan sikap
konsumtif -‘hedonis’ distansional transendental yang ditimbulkan pada lokasi (
dimana perilaku wisatawan adalah dampak dari state liminalitas ,
mereka memuaskan/menghalau liminalitas dengan pergi menuju pada lokasi tertentu
yang diinginkan – matching, daerah asal wisatawan/liminalitas – daerah tujuan
wisata/liminalitas absen = puas),dimana status konsumsi diukur/berlangsung
dimulai dari wisatawan merasa tertarik akan sebuah lokasi/destinasi yang
dikelola (secara kultural- struktural sekaligus komersial) ,menyentuh perubahan, dilakukan
penataan, ditampilkan penuh image disediakan dalam suatu ruang oleh pelaku/agensi pariwisata bekerja sama dengan
pihak lokal (semua pihak terlibat ,wisatawan dan lokal tsb,masing-masing disebut agensi-branded yang beroperasi
secara aktif dalam pandangan pariwisata). Hal ini adalah data diperoleh dari
lapangan yang cocok dengan data dari sumber/teks pariwisata tentang agensi
( Edward E Bruner.............)
Lokasi
(ibarat sign board) adalah bagian dari budaya lokal (local
mind), sebagai sumber daya lokal,lokasi-budaya
dieksploitasi,dimunculkan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan ruang publik
turistik (cafe, diskotek, hotel, restoran,show,pusat budaya dll, masing-masing
spot tsb mendapatkan lokasinya yang diberikan nuansa kultural/struktural yang mendukung dan
diberikan service dan suasana privacy- sangat diperlukan wisatawan).Sangat
diperlukan adanya pemahaman budaya konsumen .Bahwa Konsumsi yaitu: perilakun manusia yang
mengubah benda-benda untuk tujuan mereka sendiri (Lury 1998:3 – dalam, Made
P.Kutanegara) . Hal ini berlangsung dalam konteks globalisasi. (globalisasi
menunjukkan kepada kita tentang terjadinya pengkerucutan dunia dan
peningkatan koneksi global dan pemahaman
kita mengenainya dalam konteks institusi modernitas dan konteks kultural,
dalam:Barker 2009:149/ Made P.Kutanegara). Oleh karena itu Iklan,promosi,pemasaran
pariwisata ,fluktuasi harga, service,penataan lokasi yang proporsional sangat diperlukan dan perlu diatur sebaik-baiknya,untuk mampu mengundang
dan menyongsong kunjungan wisatawan
pada lokasi dimaksud (ideal pulled
factor) ,available product, berlangsung dalam durasi waktu tertentu/terbatas.
Demikian adalah gambaran proses konsumsi ‘lokasi’. Selaras dengan itu maka
diperlukan kegiatan yang all out selaras, serempak antara peraturan pemerintah,adat dan
manajemen mendukung pengembangan lokasi untuk
pariwisata yang populer dan sukses.
INTEGRASI
UNTUK KONSUMSI
Ada
Integrasi 3 tahap konsumsi ‘lokasi’ dapat diuraikan (berdasarkan pengamatan di
lapangan
dilakukan dengan berbasis lokasi)
1).dibuatkan
imagenya,untuk menghadirkan daya tarik visual,tekstual,transenden ,(destination
image, 326,329,331)
2).servisnya
dipersiapkan,dilatih SDM nya,untuk melayani dan
memberikan kepuasan lebih dalam
menawarkan produk (fisik dan non fisik)/available dan menawarkan/melakukan service yang diaksentuasikan,dikonsumsi
,terukur,terbeli disadari sebagai tindakan intangibel dan tangibel untuk
dikonsumsi dalam sudut pandang pariwisata, konsumsi berlangsung dalam durasi
waktu yang terbatas dimana perilaku wisata dan privacynya dan dampaknya
benar-benar dimengerti/disadari baik oleh lokal maupun wisatawan.Sehingga ada peran
kedekatan personal antara sevice dari pihak lokal denngan wisatawan.
Service, sebagai unit kerja
padat makna turistik, pembeda antara
lokal dan wisatawan (pelayan dan yang dilayani) , diberikan pada saat a.waktu spesifik,b.tempat sangat menentukan,c.setting
pariwisata yang kadang berubah,d.ekspektasi
wisatawan,e.hubungnan lokal-
wisatawan adalah proses marketting,f.menciptakan
eksperience berkualitas dan mengelola threshold,g.unsur manusia/ SDM dalam menciptakan intangibel eksperience bagi
wisatawan (228).
Untuk hotel, wisatawan dapat dilayani dengan mengandalkan service yang
independen, tapi unutk homestay (lihat twitter/ griyacemara83) misalnya,
service bisa dilakukan dengan keterlibatan pihak lokal, adanya peran pihak
lokal/pemilik usaha dengan peran kedekatan komunikasi personal terhadap
wisatawan, menjadi bagian dari pariwisata terapan.
3).souvenir wisatanya
diciptakan,dikreasikan sespesifik mungkin semenarik,seotentik,sememuaskan
mungkin, sampai pada karakter perilaku masyarakatnya dan karakter lokasi menjadi
bagian dari souvenir, untuk memberi kesan baik dan khas untuk mencapai sebanyak
mungkin segmen konsumer (future consumer/insiders)
,disediakan untuk membawakan,menggugah kenangan (global memory)
wisata/destinasi/nama/budaya dan lokasi wisata (konsisten dilakukan orang lokal)
sehingga membangkitkan lebih banyak wisatawan ingin mengunjungi . Souvenir
dalam berbagai bentuk (souvenir sebagai ekspresi wisatawan globalitas akan
total konsumsi/eksperience yang memuaskannya termasuk teks-teks, service dan
interaksi wisatawan dengan masyarakat budaya dan loksinya selama durasi
kunjungn) yang ditanggapi/direspons oleh wisatawan, adalah penting, karena
dalam ekuitas/globalitas/hegemoni budaya setempat,di situ digambarkan bahwa wisatawan
telah mencari,mengeksplorasi – berusaha mendapatkan trust spesifikasi lokal
yang cocok dengan selera personalnya (self/taste), berhubungan dengan
latar belakang budayanya (tourist culture) yang dieksplor
terwujud dengan ,pola konsumsinya, untuk
melihat kategori dirinya (rekaman diri sebelum wisata, saat wisata, dan sesudah
wisata). (lihat diagram 2)
MANAJEMEN
DESTINASI DAN PARIWISATA
Komponen-komponen tadi
berada dibawah payung konsep manajemen destinasi pariwisata
(destinasi: ibarat panggung pertunjukan seluruh sumber daya yang memberikan
nilai akhir bagi kepuasan berwisata, termasuk adanya image lokasi buatan/built
touristic environment - Anton) dimana dalam manajemen destinasi tsb
wisatawan sangat memerlukan : lokal otoritas, sapta pesona/ terutama sehat dan
aman,adanya badan internasional,adanya tourist board, keimigrasian, supply
asuransi,berinteraksi dengan masyarakat,penanganan wisatawan yang menjadi
korban,hubungan antar agensi komersial pariwisata luar negeri dan dalam
negeri,interaksi terbuka dengan
berbagai valuta, hotel,transpor, dan
toko-toko. (496). Hal ini
perlu diberikan kepada wisatawan ,direalisir dengan lebih baik secara periodik
(perubahan periodik dilakukan) diplanning,untuk merevitalisasi daya tarik pariwisata
untuk menjangkau segmen wisatawan (local insider yang disadari lebih dari
pada sekedar guest/ the other) yang lebih luas dan memaintain pariwisata
yang subur dengan tetap menjaga stabilitas/recycling sumber daya pariwisata
(destinasi) yang sebenarnya terbatas.
REPRODUCTION
OF LOCALITY
Integrasi lokasi tsb diawali
adanya produksi lokasi/reproduksi lokasi (reproduction of locality – lihat
Irwan) dilakukan oleh 1).khususnya yang berwenang yaitu oleh
pemerintah setempat – sebagai pihak pengatur diluar pihak supplier dan user, (pemerintah
sebagai lokomotif pariwisata- ikut mengundang wiaatawan datang,pengatur
hubungan baik antara wisatawan dengan lokal, mengatur regulasi dan relasi non
politis antar aktor: wisatawan dan lokal, dll) , lokasi tsb dinarasikan,diimagekan
dengan berbagai upaya untuk menimbulkan pandangan naratif
(visualitas,tekstual,kondisional,’life’ - agensional) wisatawan distansional
kepada obyek, sehingga nampak transendensi lokasi/obyek yang ‘menyentuh’,
mendorong keinginan personal mengkonsumsi lokasi seisinya berbasis
budaya-sejarah sebagai lokomotif daya
tarik dan disediakan service at
place,berstandard untuk memperlancar transformasi - konsumsi, dan
wisatawan melakukan kegiatan ‘konsumsi lokasi’ lebih mudah (to come,to see, to do, to buy) – 2).disediakan oleh pariwisata (pihak ke
tiga) dikelola oleh stake hoder lokal dan pihak lokal (khususnya) yang
mampu/kompeten menghadirkan dirinya sebagai cultural man memaknai
budayanya sendiri (dalam lokasi itu) secara konsisten,rasional,khas, sensitif
tapi produktif (nguri-uri,menghargai,mengelola,menyadari adanya budaya sendiri
yang branded-sangat
bermanfaat) secara kultural (ada aspek struktur meaning dan aspek struktur
power
/aspek sejarah dan budaya– yang ditampilkan – ada pemahaman lokal akan aspek historis
kultural) dengan baik dan di pihak lain / wisatawan terlibat secara apropriatif
dengan peraturan-peraturan perilaku wisata setempat diberlakukan yang
menyenangkannya (antara lokal dan
wisatawan bekerjasama - action colaboratif- untuk sukses
pariwisata bersama karena pariwisata adalah dinamika ‘membangun’ secara
bersama-sama,membuat out put berupa perilaku kebersamaan,kesepahaman akan adanya perilaku lokal dengan perilaku
wisatawan,apropriatif dipayungi oleh
pariwisata–saling ada pengertian antara peran lokal (konsumer) dan peran
wisatawan (konsumer) berlangsung dalam suatu lokasi borderzone touristic).(lihat tabel 3 a. integrasi)..............lihat
juga tabel 3 b (posisi discovery)
INTEGRASI
MEREK DAN LOKASI
Proses integrasi pariwisata tadi pada
dasarnya berkaitan dengan perilaku konsumen terhadap 1).merek dan 2). lokasi
pariwisata (keduanya tidak terpisahkan: ‘dwi tunngal’):
1).Merek (orientasi produk komersial) yaitu tentang ‘perilaku
konsumsi dalam pariwisata didorong oleh persepsi wisatawan terhadap merek yang
memasyarakat/mengorbit memenuhi paritas ,yang dikenal wisatwan , yang akhirya
menjelaskan adanya peningkatan kepuasan (satisfaction) maksimal atas eksperiense
(total konsumsi/pengalaman) yang diharapkan/dilakukan. Dalam
pariwisata, tindakan pembelian (purchassing) dilakukan melalui
kunjungan dan dihitung dari total konsumsi/ total order , menggambarkan keberadaan/posisi ekuitas
merek berbagai produk barang dan jasa
(umum/kovensional) dijual, dikonsumsi oleh wisatawan terdapat dalam suatu
lokasi turistik tertentu, dan merek dalam arti khusus, menghegemoninya produk (produk budaya), yang melekat pada lokasi
(diskresi, dwi tunggal : lokasi dan budayanya sebagai produk) .Merek lokasi – merek budaya
(dwi tunggal) berperan sebagai lokomotif dan berfungsi sebagai pemersatu semua merek dengn masing-masing
produk konvensional, bekerja –branded bernaung dibawah merek yang dibawa oleh popularitas budaya tsb memasuki/memecah ruang/peluang relatif pasar
turustik (setempat dan menimbulkan opini komnitas tempat lain) dan
beroperasi di dalamnya/lokasi-mengambil peluang dan menyatakan dirinya melalui ‘produk’ , menghela produk tsb menuju hegemoni (memayungi semua merek) mengglobal. Merek tsb
secara intangibel dibawa oleh nama lokasi (kata/bunyi dan imagenya) yang bisa
ditampakkan oleh branding merek, yang diucapkan oleh lokal dipilih oleh
wisatawan berdasarkan 4P (price,product,performence,place) ,megungkapkan
apa yang sebenarnya ada dalam pikiran konsumen – yaitu secara global adalah
suatu makna wisata personal yang sedang dicarinya (tetap dan multiple),diharapkannya,dirindukannya
– terutama tentang interaksinya dengan pihak lokal/ budaya lokal /produk
‘lokal’ (Ali Hasan) yaitu a).produk
yang stabil/konsisten bernuansa lokal,budaya tertentu, b).melekatnya
atribut produk/spesifik relevan (sentris pada budaya) dan memungkinkan dipahami/dipelajari secara kognitif budaya tsb
meskipun dalam waktu singkat oleh wisatawan c).adanya
kategori produk yang masuk ke dalam jangkauan ruang konsumsi wisatawan berbasis
merek– atau dengan kata lain merek adalah ‘perbedaan antara nilai subyektip yang
dirasakan konsumer (wisatawan) dibandingkan dengan ukuran obyektip tingkat
attribut
sebuah produk yang intangibel’. (Ali Hasan). Wisatawan sebagai
konsumer sangat memerlukan sudut pandang
subyektifitas dan rasionalitasnya diterima, terhadap adanya lokasi
spesifik/berbeda, tapi branded atas adanya lokasi dan
budayanya (kelindan lokalitas) yang
memberinya ruang ‘bebas’,personal, untuk
melakukan kegiatan konsumsi turistik
yang memuaskannya karena potensi spesifikasi/potensi lokal adalah dampak perbedaan lokasi (daerah asal wisatawan dan
daerah tujuan wisata), hal ini mutlak perlu ditunjang oleh ekuitas merek.Kemampuan
wisatawan untuk melaksanakan konsumsinya (potensial order ) terhadap produk tangibel
dan intangibel,harus selalu diperhatikan, diperluas untuk meneteskan lebih
banyak peluang ekonomi bagi masyarakat, melalui antara lain dengan mengatur gejolak
ekonomi misalnya harga produk setempat tidak dibiarkan bergejolak tapi diberlakukan secara relistis-rasional, produk
yang variatip, cukup berkualitas,diakui, sehingga wisatawan bisa selalu mengapresiasi,mengkonsumsi adanya produk tsb , hal mana bisa mempertahankan/memperpanjang
siklus relasi lokal dan pihak lain/wisatawan, dalam ranah komersial (segmented
consumer) dimana jumlah wisatawan perlu selalu bisa diketahui jumlahnya
untuk menghitung , mengantisipasi kepadatan relativ wisatawan datang dan mengatur/mengontrol/mengevaluasi
kegiatan pariwisata/ produk keseluruhan sehingga produk tangibel dan
intangibel selalu tampak dinamis, kreatif,relevan.memberikan kenyamanan suasana
bagi wisatawan.
2).Lokasi,tempat,locus sebagai indikator inti sebuah daerah tujuan
wisata, diubah,disesuaikan,ditetapkan untuk suatu distribusi tempat/spot /
dipilah pilah memenuhi kepentingan addres/lokasi ekstensif dimana wisatawan berpindah ,wisatawan mengkonsumsi/menikmati
lokasi dengan bermacam-macam kondisi : pedesaan, urban, alam, dalam berbagi
bentuk produk kreatif pariwisata),oleh
karena itu lokasi
berubah
menjadi lokasi ‘spesifik’ dalam sudut pandang wisatawan– spesifikasi lokasi / masing-masing lokasi secara
turistik memerlukan keseluruhan
kepakarannya dan budayanya (struktural) .
Struktur tsb tsb dapat ditinjau dari segi
:a).ekuitas merek. b).lokasi, c).struktur merek.
a).ekuitas merek (struktural) diterapkan.operasionalisasi
sehingga berdampak mengapresiasi
langsung pada budaya,sehingga timbul istilah ekuitas budaya (image) ,oleh
karena penerapan proses in put-out put
yang mekanistis tsb maka menimbulkan
budaya lokasional spesifik existing (yang masih ada) ‘dikonsumsi’
(dikunjungi,ditonton, diapresiasi secara spesifik- dperlakukan secara berbeda) diperlakukan sebagai produk beratribut
tertentu adalah obyek/momentum/ gaze bagi orientasi/ tatapan yang menimbulkan respons kognitif , bagi wisatawan,sebagai produk barang dan
jasa spesifik yang dirindukan, hal –hal
tsb tersedia tapi tampak terbatas (limited) berbasis moment kunjungan dalam pandangan wisatawan . Pandangan / opiini
wisatawan (yang berhasil diketahui oleh
produser/pariwisata) hendaknya direspons sebagai variabel yang sangat
mempengaruhi kinerja lokal, diwujudkan ’performence’ .Tuntutan akan ’performence’ tuistik (tangible, dan intangible) inilah maka diperlukan pengembangan sumbernya (misalnya:
pusat studi budaya dan pusat studi pariwisata, dimatchingkan ) perlu selalu digelorakan untuk bisa membuat
produk/revitalisasi budaya , untuk selalu relevan diapresiasi oleh internal di
satu pihak dan untuk diapresiasi oleh eksternal di pihak lain/pariwisata,
dimana budaya dimaksud adalah keseluruhan budaya lokal yang mandiri/independen/
terbuka . Rasionalisasi ini muncul sebgai dampak tekanan ekuitas merek lokasi / matching dengan
marketting yang diperkuat, yang kemudian mengelaborasi budaya, sehingga timbul
keragaman sikap masysrakat setempat khususnya ,terhadap budaya / sejarah sendiri ( menimbulkan sikap/ kajian apresiasi
budaya: harus disadari adnya sikap pro
dan atau sikap kontra terhadap adanya budaya
turunan ), karena lokasi mereka telah dibuka (ambiguitas) untuk kunjngan bersifat
kultural/sejarah dan komersial bagi wisatawan.
Merek budaya dan lokasi menjadi kesatuan ide/ kesatuan nama/kesatuan bunyi /kesatuan
makna dan komersialisasi yang menunjuk nama, dan menunjuk lokasi (compound/gabungan
) , tidak bisa dipisahkan (dwi tunggal)
dalam pandangan pariwisata, adalah faktor umum teritorial pariwisata
(pendekatan teritorial yang berlaku untuk pariwisata, bahwa pariwisata adalah
hasil kerjasama). Produk
narasi turistik: Verbal,visual,kondisional ‘life’ ,mengisi paritas absolut
pariwisata, hal itu dikonsumsi menunjukkan ekuitas budaya menjadi bagian dari sasaran eksperience/discovery
personal bagi wisatawan dengan basis
lokasi, (image makes difference/meaning),
karena adanya unsur kesejarahan dalam lokasi dan budanya – dwi tunggal - dimana
obyek tsb bagi wisatawan diimagekan
ditampilkan secara
tertata,terbuka,terjangkau lebih mudah dan lebih cepat,terkenal,terbeli untuk selalu
membangkitkan imaginasi dan keinginan berkunjung, memberikan alasan kuat untuk merangsang wisatawan mengkonsumsi produk yang ada berbasis price (kuantitas) atau
untuk produk budaya berbasis prestige (kualitas) , mendorong rasa ingin tau antara destinasi
dan pariwisatanya, disusul dengan tindakan konsumsi turistik intensiv spesifik (saat berkunjung – terjadi relasi
host-guest dalam lokasi borderzone-/ konsumsi perilaku) sedangkan
b).lokasinya (geografis – struktur administratif- legal formal,berbasis
karakteristik otonomi daerah sekarang ini) sangat diperlukan untuk mendukung
indikator inti/lokasi sehingga
pariwisata berkedudukan locus – mapan/tetap/terikat administratif
berbasis otonomi daerah , dimana lokasi
adalah fungsional untuk meletakkan /wadah bagi attribut produk/- budaya- dan bagi produk
konvensional, yang dipertukarkan dalam aspek fungsionalisasi dan utilitasnya
(verbal,visual,kondisional/suasana, ‘life’) harus dikerjakan .Lokasi adalah wadah bagi fungsionalisasi merek
yang memaknai lokasi/ budaya (dwi
tunggal) secara turistik. Pariwisata (pihak ke tiga/ produser) memaknai lokasi (dwi tunggal)- memanfaatkan fungsi ruang, waktu dan tempat (boundery
touristic) wadah bagi sebuah produk turistik (agensi pariwisata)-merangsang/mengundang kunjungan di situ, adalah obyek bagi pariwisata (biasanya disebut
obyek wisata), misalnya: pura besakih, candi borobudur, show ramayana,tari
barong, atau lebih jauh bisa menyangkut
pemaknaan situs sejarah menyangkut
struktur (kepakaran) makna / meaning bagi masyarakat dan atau
struktur kekuasaan/power –politis/pergerakan - terdapat pada situs/lokasi sejarah
setempat, dimana kejadian sejarah/pergerakan di situ pernah terjadi dan
berkelanjutan –dimana ada perilaku tertentu wisatawan dan lokal di situ yang
harus dilakaukan (fisik, misalnya: pakaian/fashion tertentu dipakai, gerak
tubuh harus dilakukan – sebagai contoh proses transformasi – misalnya berjiarah masuk makam Sulta Agung di Imogiri
boleh dilakukan hanya pada hari-hari tertentu dan dipakainya pakaian adat
tetentu diikuti dengan perilaku tertentu, memenuhi syarat lokal yang diperlukan-
bagi wisatawan dan lokal ,hal ini bisa diapresiasi sebagai fashion/foto/gam bar
pribadi yang sedang mendapatkan ‘makna/eksperience’) atau lokasi sekedar menyangkut money changer, warung, pusat informasi
pariwisata, dll, dan
c).Struktur (kepakaran) merek yang
melekat pada lokasi (potensi popularitasnya), utilitasnya, yang ditunjuk oleh
merek tsb adalah menjadi bagian dari konten lokal (grounded) yang vital bagi wisatawan (mengisi aspek imajiner
wisatawan) dalam kompleksitas budaya
lokasional (built culture- built natural) dimana antara lokal dan wisatawan
berinteraksi, membaur, bahkan merek tsb menyentuh pengertian, membangkitkan ekspektasi standar (dalam arti kemajuan
ekonomi bagi masyarakat yang
diharapkannya akibat adanya perkembangan industri pariwisata di sekitarnya),
dalam persinggungan dengan aspek ekuitas budaya (kemerataan produk ,kemampuan
diakses) berlangsung dalam globalisasi/
global standar lokasional. Struktur merek tsb berlngsung,berkepakaran,
berproses/ berkembang dalam kurun waktu yang lama, dan sekaligus
menggambarkan proses perubahan, hasilnya, yaitu interaksi masyarakat dengan
pariwisata (di Bali pariwisata telah mulai dari thn...... di Jogja .......). Proses pariwisata terhadap budaya tsb
menghasilkan khususnya produk narasi bagi wisatawan (told dan retold tentang produk budaya adalah ‘cultural
construction’ – Edward E Bruner)
dalam tataran kognitif (verbal, visual,kondisional
‘life’) berupa : text touristic/ ideal text
touristic atau visual touristic/ideal visual touristic
/kondisional ‘life’yang diikuti dengan
adanya pamahaman akan manfaatnya (utilitasnya)
bagi tindakan wisatawan (action ) : berkunjung, halmana berasal dari motivasi yang ditimbulkan
oleh narasi berupa : text
atau visualitas/kondisional, ‘life’ ,yaitu : teks lokal – visual lokal/kondisi
lokal , hal mana bisa mengenai cerita tentang peran tokoh pahlawan tertentu,
mitos, kepercayaan lokal, keadaan alam, atau informasi aktual lain – semula
cerita bersifat kultural menjadi cerita bersifat
turistik . Semua
adalah satuan narasi yang dinilai ‘buatan’
(kompromistis agensional) ada peruntukan/out
come : identitas turistik- yang sangat
diperlukan wisatawan - terdapat dalam
berbagai addres,misalnya local story/visual local/kondisional/ ‘life’,yang
dipoles/diperindah , sangat diperlukan wisatawan , karena hal-hal itu sangat
berpengaruh secara mendalam bagi pemahaman wisatawan dari segi teks yang
berhubungan dengan kolasi dan budaya/ simbolik yang dimaknai.Teks tsb supaya dibaca dengan
penuh makna (verbal),dilihat dengan penuh makna (visual), pengarunya induvidual
digunakan untuk sebuah manfaat/utilitas merek secara struktural bagi wisatawan dengan
sudut pandangnya,memenuhi ruang cognitif touristic . Kemudian dalam lokasi tsb disebutkan
namanya (penggunaan kata/nama/bunyi spesifik pada lokasi yang dikenal dan kemudian diingat, adalah semacam
‘sign
board’ yang mudah melekat dalam memori dan menyimpan gambar/ deskripsi lingkungan penuh makna berbasis keseluruhan budayanya dan
dinamikanya , almnya sehingga memikat
dan menimbulkan opini disusul kunjungan
turistik riil yang ‘dirasakan’ memberikan bobot kultural tertentu –di situ’
penamaan’, justru menjadi bagian penting
dari ideal text touristic dan ideal visual turistik/kondisional ‘life’ (adalah paritas absolut pariwisata
budaya)- angan-angan- yang ditimbulkannya, diperlukan wisatawan.Hal itu menjadi
panduan bagi wisatawan (motivasi wisata/
romantisme turistik) yang sangat diperlukan , sangat membantu wisatawan
termotivasi menuju addres riil/identitas
riil lokasional/spot yang kemudian
dipencarkan secara ekstensif sesuai dengan planning project pariwisata, dalam
berbagai wilayah untuk memenuhi ,membangkitkan ,keragaman selera/prioritas
program wisatawan untuk berkunjung (tour),disebar luaskan direspons konsumer
(wisatawan) ,informasinya tersebar secara meluas secara relatif,mengglobal
(hegemonistis) apabila sukses, sukses tsb akan berdampak multikultur daan ekonomis.
Hal ini sekaligus menunjukkan perlunya selalu ada penanganan brand aktivasi/rebranding pariwisata
khususnya pariwisata budaya/ bidang kognitif (brand aktivasi,biasanaya
terwujud adanya peran pemerintah sebagai lokomotif pariwisata,misalnya:
membangun reproduction of locality/symbolic space -membangun monumen-monumen masa
lalu, atau bahkan membangun wilayah ecotourism, green tourism,misalnya)
yang menimbulkan narasi baru/ identitas lokal ‘aktual/otentik/konsisten’, yang menimbulkan
motivasi wisata baru (berguna untuk memperpanjang siklus hidup sebuah
merek/produk /obyek yang melekat pada suatu lokasi yang ditunjuknya dimana
lokasi sendiri adalah termasuk bagian dari produk lokasi pariwisata bermerek – dimana merek lokasi
diambil dari dan didukung oleh -pendapat
publik lokal dan wisatawan- terhadap lokasi dan budaya dalam sudut pariwisata ,menghubungkan antara destinasi (keseluruhan
sumber daya) dengan wisatawan aktual (kuantitas-kualitas) sehingga terwujud pariwisata (lokasional)
aktual yang didukung masyarakat dan
budayanya dan sumber daya lainnya yang dikelola
dan hadirnya wisatawan di situ, juga menjadi bagian integral. Destinasi
(sebagai seluruh sumber daya) dan pariwisata (adanya bukti nyata bahwa wisatwan
benar-benar datang at location ) memang
tidak tidak bisa dipisahkan, kedua-duanya sangat diperlukan untuk saling mendukung adalah data riil pariwisata yang menyangkut,
mengukur ekuitas budaya. Data riil tsb harus dipelajari, untuk menentukan sesuatu kegiatan
(konservasi, misalnya) yang membuat destinasi bisa memberikan penghargaan lebih,yang bermanfaat
bagi wisatawan , sehingga ekuitas budaya
dapat terdistribusi secara ekstensif (efektif-efisien) yang memaksimalkan fungsi dan penggunaan ekuitas
budaya misalnya berupa: text touristic/visual touristi/kondisi ‘life’yang tersedia tsb menjadi benar-benar cair
dan terkonsumsi dan bisa memasuki,memecah
ruang ekuitas relatif dalam bisnis. .
RELATIVITAS BUDAYA
Relatifitas,
ekuitas budaya dan perubahan,globalitas
dan kapitalisasi , rasio inilah yang manandai adanya hubungan sruktural ekuitas
antar budaya yang lebih luas potensial
terjadi dalam globalisasi /pariwisata ( keterbukaan antar wilayah,antar negara),
memungkinkan/memperbesar kemungkinan menghadirkan produk berbasis budaya di situ,produk yang bergerak
ke arah hegemoni pariwisata berbasis ekuitas merek lokasi .Relativitas tsb membuka
peluang berbagai budaya dimanapun, untuk tampil dengan syarat bahwa masyarakatnya (semua pihak) bisa memahami dan mengambil peluang dan tantangan : karena budaya
dinilai dengan cara berbeda (lihat Irwan
2010: 15 , tentang globalisasi/totalitas ‘suatu tatanan baru yang lahir tidak hanya
merupakan suatu bentuk dan gaya yang baru yang dianut oleh masysrakat, tapi
juga suatu cara baru di dalam melihat diri sendiri dan orang lain di dalam konteks yang berbeda’
- pariisata) sehingga berdampak pada perilaku,dalam
artian produk, mengisi ruang globalitas/turistik yang berlangsung lokasional
,diukur secara kuantitatif/ riil dengan besaran jumlah wisatawan/ konsumer yang
datang (sesuai dengan tingkat
popularitas lokasi dan service pendukungnya) tetapi hal itu tidak semudah itu
bisa dilakukan oleh lokal (karena keragaman pandangan terhadap pariwisata bahwa
perkembangan pariwisata sering kali hanya dinilai sebaatas ‘dampak positip/negatip yang ditimbulkannya’
pada hal sebaliknya bahwa pariwisata adalah ibarat ‘jendela kecil’ melihat
perubahan global- ada tuntutan bahwa budaya/ sejarah perlu dipahami , dan
digelorakan oleh masyarakat,- sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi/ konten
yang harus nyata tersedia, hal ini justru terjadi pada era globalisasi ini), dengan
tujuan yaitu dari sana, bisa dievaluasi standar dan tujuan merek budaya – dalam hal ini - (sebaiknya/ ideal ,mengacu/menjaga/sustainable
pada keselarasan kepentingan pariwisata yang memuaskan wisatawan dibandingkan dengan kepentingan masysrakat
budaya setempat terhadap budayanya dengan selalu memperhatikan,mengarahkan opini
masyarakat akan pentingnya konservasi budaya dan promosi serta sebaliknya
menekan konflik dan kompetisi tidak sehat – adalah pola kerja dasar manajemen
pariwisata yang menekankan kemandirian budaya/souverinity of culture yang ideal ). Respons
wisatawan terhadap global/keseluruhan
performence/profil turistik sebuah budaya tadi (tampilan kompromistis-agensional) harus
selalu dipehatikan, karena respons wisatawan adalah data pariwisata yang
penting , menggambarkan hasil proses kerja ekuitas merek yang mengintervensi budaya setempat tertentu (memasukkan budaya ke pasar-dikomodifikasi dengan memanfaatkan
merek sehingga menjangkau aspek globalitas/hegemonis tampilan/performence
komersial agensional sebuah budaya, yang
meliputi seluruh barang dan jasa dan perilaku masyarakatnya/khas yang
disediakan baik yang tersembunyi dan terbuka,disajikan bagi wisatawan/ by order – hal ini adalah sensitif, perilaku
masysrakat lokal bisa berubah sewaktu-waktu, selaras dengan momentum opini
masyarakat terhadap pariwisata.) digunakan baik oleh wisatawan dan oleh lokal
(kedua belah pihak sangat diharapkan mewujudkan kerjasamanya,saling memahami
untuk mewujudkan tujuan pariwisata –
harmoni dalam teater pariwisata: harmoni relasional antara perilaku
lokal dan perilaku wisatawan,rasionalitas, disertai adanya peraturan-peraturan bagi
wisatawan dan bagi lokal – rule dan role ,disepakati), kemudian
keseluruhan bisnis modal besar maupun kecil dalam ranah pariwisata bisa
berjalan memanfaatkan arena kompetisi dalam skala global terjadi pada suatu
lokasi sekaligus dengan mengsisi peluang dan tantangan dengan melakukan
diferensiasi penawaran barang dan jasa turistik at location,yang
kompetitif pada aspek harga (hard
measure) khususnya, atau pada kualitas (relatif measure/personal measure) dan kretivitas.
Masyarakat
setempat dapat mempelajarinya dan memanfaatkannya sehingga masyarakat bisa ikut
menikmati hasil pariwisata melalui partisipasi dan mengembangkan produk,
khususnya ‘produk budaya’ sendiri yang
dipelajarinya.
EKUITAS MEREK
Menurut
beberapa ahli, disimpulkan ekuitas budaya dipandang dari ekuitas merek, dalam
pariwista sbb: 1).perasaan
suka wisatawan,
2).kesadaran konsumsi,
3).preferensi perilaku konsumen,
4).persepsi konsumen
1).sikap
positip dan perasaan suka oleh konsumen (wisatawan) terhadap atribut produk
lokal tertentu (konten budaya) yang mendorong konsumsi budaya tertentu dengan
penggunaan merek tertentu aktual
berbasis lokasi yang berasosiasi (ekuitas budaya),dikelola secara turistik dan
kultural (integrated) dan disediakan by
order untuk dikonsumsi (available) – dapat dievaluasi dari segi cultural
branding
/ merek oleh wisatawan/konsumer . Dimana masukan-masukan dari
wisatawan harus selalu direspons secara positif dan realistis untuk mengerjakan
arah pariwisata dan mengisi dngn produk relevan,produk apropriatif .Di situ
konten/atribut budaya lokasional dalam satuan ekuitas, melalui proses pariwisata membuat
budaya tsb menjadi (melalui proses
transformasi) ‘menu budaya’ bermerek/ populair
yang disukai , dalam tataran kognitif naratif misalnya : text touristic/visual touristic/kondisional
‘life’adalah paritas yang harus
disediakan karena sangat diperlukan wisatawan untuk kognitif :misalnya berupa
cerita,informasi ,dipakai dalam aspek utilitas/fungsionalisasi adalah obyek kognitif
berupa teks bagi pariwisata –ketersebaranya/popularitasnya /ekuitasnya sangat
diperlukan oleh wisatawan – wisatawan mendapat diri mereka dalam kelompok yang
berketeraturan, yang mendorong produk-produk setempat lainnya diketahui dan kemudian dikonsumsi untuk sebuah
prestige
level per kelompok. Produk tsb dirasakan dan diopinikan oleh wisatawan dari sudut pandang lokasional
produk /locus, misalnya: minum cocacola di Bali,di Jogja terasa
spesifik/bernilai, berbeda, karena adanya merek lokasi yang ’ menggema’. Hal
itu tidak lepas dari faktor imege lokasi dari tataran makna simbolik yang sengaja dibuat/ terukur,dikehendaki oleh pariwisata (produser/ pihak ke 3)
,memberikan suasana khas,ditimbulkan dari sudut perilaku budaya lokal.Kontribusi
makna simbolis tadi sangat diperlukan
wisatawan karena adanya budaya/transendensi/distansi/komunikasi/yang secara langsung mengelola profil fungsi
ruang,waktu, tempat, dan adanya gerak/figur orang lokal, berbeda/aneh -
agensional, dimana aspek self/trust
pemeluk budaya dianggap ‘obyek perilaku’ oleh wisatawan, padahal sebaliknya
misalnya: upacara adat: Ngaben, Gunungan,Labuhan dilakukan dll, adalah
dianggap SUBYEK bagi pemeluknya, tanpa menghiraukan ada –tidaknya unsur ekuitas
merek yang ditimbulkannya, tapi hubungan antara obyek (orang/pemeluk budaya)
dan subyek (upacara budaya) dalam
hal ini menjadi daya tarik dalam sudut
pandang pariwisata (karena
kewajarannya-konsistensi-aktualitas-otentisitasnya) justru itu, mempunyai potensi mempengaruhi
wisatawan/pariwisata mendorong tumbuhnya
ekuitas merek mengintervensi atribut budaya
menjadi agensi. Budaya setempat
seperti yang disebutkan di atas,dalam arti teks ,visualitas maupun dalam
arti perilaku/kondisi , hal ini berarti bahwa ‘semua budaya lokasional’
(sebagai produser teks/visual dan produser perilaku bagi masyarakatnya/kondisi),semuanya
bisa / berpeluang dikerjakan mempunyai
out come (kesuksesan dan peruntukan) diterima potensial bagi pariwisata, yaitu: dengan
cara membuat narasi touristicnya yang dapat ditampilkan mengacu dan masuk
dalam ranah diskusi/dialog produk dalam ranah merek dalam komunitas wisatawan
(go public). Bagi lokasi wisata yang sudah populer, hal-hal tsb brlangsung ‘ideal’ (tanpa halangan) bahwa atribut-atribut
atau konten-konten budaya (produk) setempat bergerak menyatu mengkerucut dengan mereknya (yang
utuh) melekat pada basis lokasi turistik (dwi tunggal) sebagai bagian dari
destinasi/pariwisata, yang digunakan wisatawan dan disadari oleh pelaku
kultural setempat, dimana identitas perilaku kultural (cultural man)
ditampilkan untuk mengisi cerita/teks
/informasi/visualisasi
‘life’ tentang perilakunya yang mengisi atribut produk ,menunjuk
a). konten
budaya/kultural lokasional yang diapresiasi oleh wisatawan (pihak lain) dan
diapresiasi oleh lokal menunjuk pada
b). atribut produk kultural,
kemudian dipresentasikan/disajikan
menjadi tampilan ‘menu budaya’ by design / show / by order yang
bermerek (budaya yang transformatif komersial – ekuitas budaya- misalnya show
drama tari ramayana, drama tari kecak)
dalam sudut pandang ekonomis.(order)
2).kesadaran
konsumsi teks/cerita/informasi /visualisasi/kondisi ,’life’ tentang
budaya dan lokasinya sebagai merek khusus ( memenuhi utilitas dan choice
cq: freedom of choice), adalah pengelolaan
fungsionalisasi,penggunaan budaya
sebagai supply/available/by order dalam konteks pariwisata, hal mana perlu dilakukan
solusi karena hal itu sensitif terhadap
timbulnya ketidak sepahaman antara pengembangan pariwisata (touristic oriented/global) dengan
pengembangan budaya (cultural self estime oriented).
Dalam arti khusus itu ,maka ada pengertian dikhotomis komparatif antar berbagai
budaya yang ditampilkan dalam ranah
merek khusus (terkenal) dan yang tidak khsusus (tidak terkenal). Sebenarnya dikhotomi
tsb muncul hanya sebatas pada tingkat keragaman nama budaya mengisi paritas relatif (peluang) produk
budaya tertentu (ada komparasi berbagai budaya dalam ruang
pariwisata/global),tampilan tertentu,yang berhubungan dengan sebatas perbedaan
nama dari suatu kategori yang diterapkan beredar dalam pasar pariwisata,hal
itu sekedar untuk mengisi rangking dalam
ruang merek – dengan tujuan merebut pasar penggunaan salah satu merek dengan tujuan
komersial.
Tapi
bahwa pariwisata adalah peluang dan tantangan bagi
pekerjaan suatu budaya manapun untuk terus membangun secara kompetitif,
bahkan mereproduksinya /otentik– dibangun ,justru muncul peluang dan
tantangannya yaitu dalam momentum
pariwisata yang harus ditempuh melalui kompetitif dalam ranah ekuitas budaya relatif. misalnya
destinasi Bali ( dwi tunggal: lokasi dan budaya),Jogja (dwi tunggal) perlu
selalu dielaborasi unutk merespons perkembangan/dinamika pariwisata/relativitas,dimana
dalam dinamika tsb memungkinkan tumbuhnya
budaya lain di tempat lain – sebagai kompetitor potensial - yang belum punya merek. Suasana kompetitif yang potensial karena adanya ukuran durasi
kunjungan dan melekatnya harga produk budaya.
3).preferensi
perilaku konsumen terhadap produk budaya/konten budaya tertentu sebagai merek,berarti
budaya dapat diperbandingkan (comparatif) – berarti ada pilihan/choice
dan utiltas di tangan konsumen/wisatawan
terhadap budaya/konten budaya sebagai atribut produk,atribut budaya tertentu
yang lebih disukai dari pada budaya
lainnya-lokasi lain, lebih dikunjungi ,dimana hal itu, budaya dan lokasi
(kelindan dwi tunggal) tsb dimaknai
secara turistik,berarti choice berlaku dalam ranah sebatas ekuitas merek lokasi
turistik yang sudah terkenal ,setempat/fokus, sehingga mempermudah,bisa dimanfaatkan
oleh pariwisata setempat dalam
menepatkan tampilan narasi berupa text/visualitas
turistic/cerita/informasi/visualisasi /kondisi / ‘life’ tertentu,
diubah,disediakan – disesuaikan/pas dengan dinamika selera konsumen, sebatas
kehendak konsumen (orientasi konsumen).
4).persepsi konsumen
terhadap tampilan budaya / konten budaya tertentu dalam ranah merek dalam bentuk kesediaan atau ketidak
sediaan membayar (proses komersialisasi dalam hitungan uang/harga terhadap
sebuah budaya dalam ranah pariwisata) –
dalam arti konsumsi tampilan konten
budaya tertentu – adalah sebuah fakta
adanya ‘perubahan pemahaman’ (dampak
pariwisata), fakta komersial terhadap budaya /pelakunya dan lokasinya yang ditunjuknya, tertentu,hal mana justru
bisa menimbulkan peluang refleksi
terhadap pemahaman budaya milik sendiri (souverinity of culture/kemandirian
budaya – yang perlu dilakukan oleh lokal) untuk tampil dalm panggung
pariwisata, justru terjadi dalam momentum
pariwisata yang kompetitif- semua budaya
boleh mencari popularitasnya, di sana
penuh peluang dan tantangan, terdapat dalam ranah ekuitas relatif budaya dalam globalisasi sekarang ini. (Berbeda
dengan budaya yang diinternalisasi oleh pelakunya sendiri diuiri-uri melalui alasan pemahaman intensif terhadap
fakta-fakta sejarahnya di luar konteks pariwisata).
Integrasi ke 4 aspek kesimpulan
ekuitas budaya tsb ,dimengerti oleh baik pihak wisatawan dan juga pihak lokal,
diungkapkan dengan bahasanya sendiri-sendiri ( informasi ini diperoleh melalui dialog, penulis adalah guide senior -
dengan sejumlah informan baik wisatawan maupun pelaku budaya baik di Bali
maupun di Jogja) yaitu tentang ‘lokasi
spesifik’ - borderzone sebagai
lokasi (dwi tuggal) yang bermerek interaksi turistik struktural ( dimana terjadi interaksi wisatawan dengan
orang lokal/budaya lokal melalui pengamatan proses transgresi dan resistensi
dalam hubungan antar ‘agensi/aktor’ yang dipertukarkan
perannya :lokal dan wisatawan,berlangsung dalam suatu ruang: borderzone
. Teori
performence – Edinsor 2001, bahwa ‘pariwisata lokasional sebagai teater
improvisasi
dengan stage/panggung berlokasi pada boderzone dimana antara lokal dan
wisatawan, keduanya adalah aktor’, sebagai lokasi kolaborasi, bagian
dari tool kolaborasi (lokasi dalam arti
pariwisata dapat disamakan sebagai lokasi digital – sangat diperlukan wisatawan
dari sana wisatawan (dari semua kategori)
bisa mengetrapkan sudut pandangnya yang global terhadap lokalitas,menggunakan
,mengaplikasi tool tsb,memanfaatkan dan menyebarkan informasinya/opininya, mengglobal,
misalnya melalui word of mouth marketting
atau melalui saluran internet: facebook, twitter dll) adalah dampak dari globalitas pariwisata yang mengintervensi perilaku dan
mengintervensi budaya lokasional yang kemudian mengangkat budaya lokasional tsb
mengalami perubahan/pergeseran teks nya,ceritanya,
performanya/tampilannya/visual ,mengglobal, karena pengaruh interaksi,fungsionalisasi
pariwisata .Hal mana tidak dapat
dielakkan.
Konten/atribut budaya
tsb berubah saat menjadi ekuitas merek yang berkorelasi secara positif turistik
menyangkut budaya/nilai-nilainya
dan perilaku lokal pada suatu masyarakat, sebagai sumber/in put. Hal ini
secara relatif bisa menimbulkan kesadaran adanya popularitas turistik setempat bisa dilakukan dan bahwa pelaku budaya lokasional
tsb boleh jadi ‘merasa dituntut’ untuk mampu membangun budayanya secara
konstruktif lebih luas,dengan pembatasan, ada bagian yang bisa disajikan/dijangkau oleh pariwisata , ada
bagian yang dipertahankan,bahkan ada yang masuk dalam ruang kompetisi dimana budaya bisa diakses, bahkan diintervensi oleh ekuitas merek
relatif/globalitas/hegemonistis.Tapi sebaliknya pelaku budaya lokasional boleh jadi merasa diintervensi oleh perilaku pengetrapan
merek yang efektif dan struktural, sedemikian gencar yang dirasa kontestatif
terhadap budaya sendiri , yang menimbulkan sikap resisten dalam derajat
tertentu terhadap hadirnya pariwisata. Pelaku budaya lokasional adalah titik
sentral/vital (human resources) ‘pelaku
budaya’sangat
diperlukan perannya bagi perkembangan pariwisata budaya khususnya dan
perkembangan siklus budaya dalam destinasi ,namun di sana tergantung pada
persepsi induvidu/kelompok pelaku budaya (pemeluk budaya) merespons pariwisata
sebagai tantangan dan peluang global ,merespons dengan pengembangan budaya
yang kompetitif dan yang mampu
mempertahankan identitasnya (budaya alternatif/emergency).
Budaya yang diekspresikan
dalam narasi/teks,visual, kondisional
‘life’ secara turistik mudah mencair menjadi ber merek, mengintegrasikan 5
komponen ekuitas merek, satu sama lain berkorelasi positip, berguna untuk mengendalikan nilai teks turistik
(merek) tsb, hal itu perlu dirancang
berdurasi jangka panjang: hal mana sangat memerlukan konsistensi
perilaku budaya tertentu yang diakui/dihidupi oleh pelakunya sendiri, terukur,
konsisten (branding) yang
berkelanjutan (sustainable) . Semakin berkelanjutan (narasi otentisitas) suatu
budaya yang konsisten dalam ranah pariwisata, maka akan semakin berdampak
positip , berkelanjutan bagi pariwisatanya.........(lihat tabel 2).Lihat kasus Bali.
PRODUSER/PARIWISATA
Dalam perspektif manajer/produser (pariwisata/
pihak ke 3) ,eksperience perlu diberikan peluangnya untuk wisatawan bisa mengkonsumsi produk barang dan
jasa secara leluasa, di situ eksperience adalah materi yang krusial,perlu
dikelola dengan baik dalam skala ekstensif
(terjangkau,tertata,terpadu,terbuka,terbeli) , secara kuantitatif dan
kualitatif untuk dapat
diakses,dikonsumsi oleh wisatawan dengan mudah,dalam mobilitasnya (tour).Untuk
memperkuat makna simbolik turistik yang diperlukan (data bahwa wisatawan dari
segi kognitif banyak sekali mencari makna simbol atas produk – karena dalam
pariwisata produk turstik sangat mudah berubah menjadi simbolik,menjadi salah
satu sumber kepuasan wisata, memancing wisatawan memaknai – adalah sesuatu yang
perlu diciptakan), dilakukan dengan membuat visualitas,teks aktual,kondisi-kondisi,
advertising, image ‘lokasi spesifik’ disertai adany keragaman produk tersedia,
perlu terus menerus dilakukan, dipilih atribut produk tertentu (misalnya produk
destinasi Jogja dalam aspek sejarah lama maupun modern setempat yang melimpah
dielaborasi,diapresiasi untuk memperkuat narasi memaknai simbol) dalam rangka
mencari potensi besar/ spesifikasi, dengan sendirinya memperkuat merek,dimana peluang yang dibawa
oleh otentisitas sejarah/budaya tsb sekaligus bisa dimanfaatkan untuk
menawarkan produk spesifik turistik lokasional (misalnya meningkatkan kompetensi
dalam melakukan manajemen kreatif sehingga masyarakat mampu membuat produk
industri kreatif misalnya kerajinan rakyat yang berkualitas dan kompetitif –
diharapkan bisa lebih meningkatkan income masyarakat) lainnya atau produk yang
secara konstan mengalami perubahan atau sengaja diubah secara relatif (change)
di mata wisatawan (misalnya kemasan/visualitas yang diubah utuk menunjang promosi ) – penuh image/pesona
disertai service yang bersifat dinamis,dan meyakinkan , privacy wisatawan di
jaga,harga yang selalu terjangkau, hal itu benar-benar merespons dinamika
kebutuhan wisatawan (eksperiense).
Pariwisata sesungguhnya selalu
berkaitan dengan hal-hal yang berubah/ diubah secara relatif, peluangnya adalah terletak
pada kemempuan secara profesional kultural – SDM nya,menyesuaikan dengan
perbedaan-perbedaan/ pergantian selera wisatawan dan selera lokal sendiri ,dari waktu
ke waktu, memenuhi kebaruan/innovatif, hal mana sangat diperlukan oleh dinamika selera wisatawan-selera
global. Obyek bagi pariwisata/wisatawan , perlu disesuaikan dengan posisi lokasi wisatawan, karena
wisatawan selalu berpindah lokasi, mengkonsumsi/menikmati /mencari makna lokasi
alam maupun buatan ( struktural dan fisik) atas keberpindahannya (misalnya
dalam tour dari satu kota ke kota lain) dan ingin secara terus menerus
mendapatkan produk-produk khas/ lokal ditawarkan karana produk tsb
menggoyang/menggugah sensitifitas personal wisatawan. Wisatawan bersikap hedonis. (lihat batasan wisatawan).
IMAGE
‘Image
dan harapan wisatawan mendapatkan eksperience (total konsumsi
wisatawan atau aspek feeling,thought,image,desire), change
, saling berkorelasi dalam sudut perspektif konsumer (wisatawan) dan hal itu adalah obyek
tertinggi bagi marketting destinasi yaitu target untuk memberdayakan image dan
mengembangkannya supaya mempengaruhi ekspektasi konsumer’ (Middleton dan Clarke
2002:127). Ekuitas
merek produk berhubungan dengan marketting , dan bahwa marketting adalah kesatuan
sebagai a).alat berdemensi intangibel dan b).membangun target impian/kepuasan
yang berdemensi intangibel, yang ditunjuknya, sudah merupakan komponen yang
memperkuat image lokasi dari kekuatan
marketing masuk dalam ranah kognitif wisatawan . Marketting
destinasi (menjangkau perubahan gerak selera segmen dimaksud) selalu
memperhatikan aspek conative meliputi segi cognitif, affective dan choice
Lihat diagram 3 : Diagram conative (wisatawan) terhadap
ekuitas budaya......................................
PENUTUP.
Difinisi ekuitas budaya dalam arti text
touristic,visualitas turistik/kondisional.’’life/ ideal dalam
ranah merek yang digunakan (utilitas),
yang disetujui para ahli,menunjukkan bahwa ekuitas budaya adalah nilai tambah
pada atribut produk budaya /konten budaya sebagai pengisi atribut produk
kultural by order / kapitalisasi (misalnya: upacara-upacara adat
setempat- suasana spesifik) dan hal itu adalah dampak dari preferensi untuk suatu
konsumsi budaya (aspek dwi tunggal) dalam satuan merek (ada tarik menarik
antara merek dan aspek dwi tunggal:menghasilkan produk pariwisata budaya) - agensional, berbasis respons
terhadap perubahan/change yg berlagsung dalam pariwisata/globalisasi. (lihat tabel 4a)
Diharapkan masyarakat lokal justru selalu bisa
berketetapan mempertahankan identitas
komunitasnya,attitudenya,ekspektasinya,opiininya,dan gaya hidupnya (31) dalam
menghadapi perkembngan pariwisata di sekitarnya, hal mana sangat berguna bagi
ketetapan budaya sendiri ( souverinity of culture) dan bagi
wisatawan/pariwisata/globalisasi.Lihat
tabel 4 b: TEKS TURISTIK
CANDRAN, desa
wisata alternatif di Bantul : visualitas/fotografi interaktif.
Adalah sebuah lokasi/ borderzone
touristik, berupa desa, suasana desa jawa masih kuat, tampak pada kuatnya aspek
pertanian tradisional dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya,menjadi gaya
hidup khas masyarakat petani, dimana adat jawa masih dipegang teguh. Sebagai
boderzone/lokasi spesifik, di Candran terdapat sebuah bangunan MUSEUM TANI
JAWA. Dalam ranah pariwisata kata (bunyi) Candran dan MUSEUM TANI JAWA,
kata-kata (bunyi-bunyi) tsb sudah dikenal (integrated),kata-kata tsb membuat
wilayah yang ditunjuknya dan konten setempat: museum,adalah fokus fungsi ruang,
waktu dabn tempat ada obyek bagi pariwisata,
yang benar-benar menarik perhatian wisatawan.Sumber daya pariwisata yang
ada (destinasi),dikelola oleh gabungan antara organisasi pariwisata desa dengan
organisasi pariwisata luaran (UGM/fakultas vokasi – STP AMPTA) sehingga Candran sudah bisa mengundang dan dikunjungi
oleh wisatawan dari berbagai negara.: Prancis, Kuwait, Belanda,
Amerika,dll.
Antara destinasi dan wisatawan sudah
berhubungan dalam wujud tingkatan pariwisata tertentu, jenis pariwisata aktual,
produknya: yaitu desa wisata . Aspek pariwisata yang berkembang dan diunggulkan
(dalam hal ini) adalah aspek visualitas/fotografis interaktif integratif antara
wisatawan dan pelaku budaya lokal,dan alam lingkungannya, lokal mengadakan
kegiatan lokal khas: membuat emping, tanam padi, seni instalasi memedi
sawah,gejlok lesung musikal, gamelan remaja,memandikan kerbau, devile keliling
desa, makan siang bersama penduduk dengan menu lokal, naik perahu naga keliling
bendungan, berburu bebek, masyarakat lokal mengenakan pakaian adat a la desa
aktual (aspek visual, fashion), narasi/ cerita. Antara wisatawan (konsumer)
sebagai fotografer dengan masyarakat : anak-anak,ibu-ibu, bapak-bapak, aparat
desa adalah pihak-pihak (supplier), berinteraksi dengan peran-perannya
masing-masing, teratur, tertata, sehingga masing-masing peran,pihak, bisa
mendapatkan makna,kepuasan, dan nilai positif atas interaksi dalam momen
fotografis tsb yang berlangsung kira-kira 8 jam dari jam 9 – jm 17. Disamping
sebagai fotografer , wisatawan juga diperbolehkan melakukan partisipasi, dialog
(multikultur) terhadap sesuatu kegiatan yang dipilihnya yang sedang dilakukan
oleh masyarakat saat itu.
’Proses
visualitas fotografis di desa yang
sukses sehingga desa candran bisa menjadi simbol/merek bagi
pariwisata fotografi di desa, maupun sebaliknya pariwisata fotografi
di candran bisa menjadi simbol/merek bagi desa interaktif,integratif’.
Tabel 5,
fotografi sbg solusi/discovery à
No comments:
Post a Comment